Sebut saja bu Anggrek dan Bu Mawar
Ke dua ibu tersebut sosok wanita
supel dan ramah. Beliau juga tipe orang yang sangat menghormati orang lain,
terutama orang yang terpandang, orang yang lebih tua, dan gurunya.
Waktu menunjukkan pukul 10.05
Wib, bu Anggrek datang menemui salah satu wali kelas anaknya. Kedatangannya berkenaan
dengan ijin anaknya yang tidak dapat mengikuti pelajaran hari itu. Kedatangan beliau
di sambut ramah oleh wali kelasnya. Terjadi obrolan santai antara bu Anggrek
dengan wali kelas anaknya.
Walaupun obrolan mereka terlihat
santai, tetapi bu Anggrek tetap berusaha sebisa mungkin untuk menghormati guru anaknya.
Dari menanyakan kabar, sampai inti pokok tujuan bu Anggrek datang ke sekolah
anaknya. Semua percakapan bu Anggrek dan wali kelas anaknya menggunakan bahasa
daerah. Kebetulan bu Anggrek orang Jawa Tengah, sehingga beliau menggunakan
bahasa daerahnya yaitu bahasa jawa, tepatnya Kromo Inggil.
Hmm... singkat cerita, bu Anggrek mohon pamit, dia berkata pada guru
anaknya..
“Nggeh sampun bu, nek ngoten kulo
badhe Kondur rumiyin, pareng” , kata bu Anggrek.
(Ya sudah bu, kalau begitu saya
mau pulang dulu, permisi)
“Oh nggeh, atos atos nggeh bu” , kata
bu guru sambil senyam senyum.
Kisah yang lain lagi dengan bu Mawar.
Jam sekolah sudah selesai,
penghuni sekolah dasar di kota yang kecil di daerah Jawa Tengah hanya tinggal
beberapa guru. Waktu sudah menunjukkan pukul 14.10 wib.
Datang dengan tergopoh- gopoh bu Mawar menemui salah satu guru. Sambil meminta
maaf, beliau mengutarakan kepentingannya datang ke sekolah pada saat jam
sekolah sudah bubar.
“Nuwun sewu bu, kulo badhe matur”,
kata bu Mawar.
(maaf bu, saya mau bicara)
“Nggeh wonten nopo bu?”, kata bu
guru.
(Ya ada apa bu?)
“Niki wau Olivia ngendiko
datheng kulo, botol minum me ketinggalan wonten kelas”. Kata bu Mawar
(Tadi Olivia bilang ke saya,
botol minumnya ketinggalan di kelas).
“Warnane niku merah bu, ngendikane
teng laci meja”. Kata bu Mawar.
(warnanya itu merah bu, bilangnya
di laci meja)
Bu Mawar dan bu guru pergi ke
kelas Olivia. Sesampai di kelas, mereka menuju tempat duduk olivia.
“Niki nopo bu, botol minume olvia
ingkang warna abrit?” kata bu guru.
(ini apa bu, botol minume olivia
yang berwarna merah?
“Enggeh niku bu, betul sanget”.
“Matur nuwun nggeh bu, kulo badhe
wangsul”, kata bu Mawar.
(iya itu bu , betul sekali)
(terima kasih bu, saya mau pamit)
Bu guru hanya tersenyum jika
mengingat pembicaraan tadi.
Kisah di atas merupakan kisah
nyata, bukan sebuah karangan. Tapi benar-benar terjadi. Hanya saja nama orang
sengaja di ganti, karena takut mencemarkan nama baik.
Dari kisah percakapan di atas,
sebenarnya menjadi keprihatinan kita, tentang tata cara penggunaan bahasa
daerah dalam sebuah percakapan. Setiap daerah pasti memiliki tata cara,
sopan santun dalam berbicara menggunakan bahasa daerahnya. Istilah dalam
bahasa jawa di sebut unggah ungguh.
Sebagian besar, orang tua dalam menerapkan
bahasa sehari- hari dengan anaknya tidak memperhatikan aturan bahasa daerahnya
masing- masing. Entah itu Jawa, Sunda, Banjar, dan lain- lain. Di dalam bahasa
daerah, pasti ada susunan dan tata cara berbicara yang di anggap sopan dan
santun. Baik antara yang muda dengan yang tua, yang tua dengan yang muda,
dengan teman sebaya, maupun dengan orang yang baru di kenal.
Tetapi, di jaman sekarang,
penggunaan bahasa daerah mulai sedikit demi sedikit terkikis oleh jaman.
Entahlah, mungkin karena ribetnya
aturan bahasa daerah, atau karena biar di anggap tidak kuno, banyak orang tua
yang memilih menggunakan bahasa Indonesia.
Dan lebih parahnya lagi, justru
di sebagian kalangan, penggunaan bahasa daerah di ganti menggunakan bahasa
Inggris, atau bahasa asing yang lain. Bener- bener parah, hidup di Indonesia, dengan
lingkungan pribumi, yang mana bahasa daerah masih berlaku di
lingkungannya. TERLALU kata bang Roma.
Sebagian orang tua, khususnya
yang sudah berumur sering mengeluh, “Anak sekarang tidak tahu sopan santun!”.
Benar, tetapi juga tidak benar...
Loh kok tidak benar?
Ya karena, orang dewasa pun
sekarang juga sudah mulai kehilangan yang namanya sopan santun.
Mungkin generasi 10 tahun
mendatang, anak- anak merasa asing dengan kata- kata sopan santun.
Mengapa?
Yah.., karena mulai di
tinggalkannya bahasa daerah yang di anggap sudah tidak cocok lagi di
jaman sekarang. Orang tua lebih suka menggunakan bahasa Indonesia, dengan
alasan biar nanti di sekolah, anak saya bisa bersosialisasi. Takutnya kalau
anak cuma di ajari menggunakan bahasa daerah, nanti di sekolah
dia tidak bisa bersosialisasi dengan temannya. Tidak dapat mengikuti pelajaran
di kelas, karena pelajaran di sekolah menggunakan bahasa Indonesia.
Benar, tetapi juga tidak benar.
Pada dasarnya, anak- anak lebih
cepat belajar dari pada orang tua. Jadi bukan alasan yang tepat jika nantinya
anak- anak kesulitan mengikuti pelajaran.
Sebaiknya yang perlu kita
kawatirkan adalah masyarakat Indonesia melupakan bahasa daerahnya
sendiri. Baik tata cara, maupun
penerapannya dalam kehidupan sehari- hari.
Pentingkah bahasa daerah?
Dari kejadian seperti bu Anggrek
dan Bu Mawar, dan mungkin dengan sebagian besar keluhan orang tua, sebenarnya
penerapan bahasa daerah dan penggunaan bahasa daerah itu sangat penting.
Namun perlu di garis bawahi,
walaupun bahasa daerah penting, bahasa pemersatu kita, yaitu bahasa Indonesia
juga tidak kalah penting dari bahasa daerah.
Berikut beberapa manfaat
penggunaan bahasa daerah yang sesuai dengan tataran yang berlaku pada setiap
daerah masing-masing:
1.
Membentuk kepribadian yang
lebih menarik.
2.
Membentuk kepribadian yang
lebih sopan santun.
3.
Menunjukkan kepribadian
yang bermartabat.
4.
Lebih bisa menghargai orang
lain, baik ke yang lebih tua, ke yang lebih muda, maupun yang sebaya.
5.
Penggunaan bahasa daerah
juga menunjukkan jati diri bangsa Indonesia yang beragam suku dan budaya.
Dan masih
banyak manfaat penggunaan bahasa daerah yang belum saya ketahui. Mungkin ada
yang mau menambahkan di kolom komentar.
Semoga artikel
ini bisa bermanfaat.
No comments:
Write comments